SAMOSIR-Hampir seperempat abad ia meninggalkan tanah
kelahirannya, Pangururan. Kali ini ia datang lagi, tapi bukan hanya
sekedar melepaskan rindu. Melainkan mencari gadis batak untuk menjadi
pendamping.
Jan Pieter Situmorang meninggalkan Pangururan sejak tahun 1989. Kala
itu ia masih berumur 5 tahun dan harus mengikuti kedua orangtuanya yang
bekerja di California, Amerika Serikat. Sejak itu pula lah ia tak pernah
lagi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Ketika mendengar akan
digelar Festival Danau Toba 2013, ia pun buru-buru mengambil libur dan
berangkat ke Tanah Batak. Ia berharap akan bertemu sanak saudaranya di
Samosir, meskipun ia tak ingat lagi wajah mereka.
“I have come a long way from my home to see my real home here in Samosir. When i heard about Danau Toba Fest, i decided to come. Alone,” katanya kepada Tribun sambil tertawa. Ia mengaku agak kesulitan untuk mencapai jalan ke Danau Toba karena tak ingat lagi jalan yang harus dilalui. Untunglah ia masih mampu berbahasa Indonesia untuk menanyai jalan di terminal bis meskipun sedikit terbata-bata. Namun kalau Bahasa Batak ia memang benar-benar sudah lupa.
“Bahasa Batak saya lupa. Tapi saya suka nyanyi lagu Sing Sing So di California. Lalu lagu Situmorang. Sometimes lagu Lisoi Lisoi juga,” katanya sambil menyanyikan intro lagu Situmorang. Dia tahu lagu itu dari situs youtube.
Ia mengaku perkembangan di Danau Toba saat ini benar-benar berbeda ketika ditinggalkannya. Ia juga masih butuh belajar banyak tentang batak dan adat istiadat yang tidak pernah dipelajarinya selama di California. Beruntung, ketika ia tiba di Bukit Beta, salah satu lokasi acara Festival Danau Toba (FDT) 2013, ia bertemu dengan Sandra Niessen. Perempuan ini adalah seorang antropolog asal Belanda yang intens menulis tentang budaya batak khususnya kain Ulos. Dari Sandra ia diberikan sebuah buku dan video yang berisikan ragam adat dan istiadat Suku Batak.
“Well, actually i wanna buy them. But Sandra give them for free. Lucky me,” katanya kembali tertawa.
Namun ia sempat mengeluhkan perhelatan FDT 2013 yang katanya sering molor dari jadwal yang sudah ditentukan. Sebagai orang yang tidak memiliki banyak waktu untuk berlibur, katanya, harusnya pihak panitia bisa lebih profesional. Khususnya soal manajemen waktu.
“I’m so wasting time here,” keluhnya.
Mencoba menghibur dirinya, Tribun pun menantangnya untuk menyanyikan lagu “Situmorang” di atas panggung pementasan World Drum Festival di Bukit Beta. Ia langsung sumringah dan mengiyakan ajakan tersebut.
Ia pun akhirnya memberanikan diri meminta ijin dari Rizaldi Siagian, penanggungjawab acara seni budaya di FDT 2013. Oleh Rizaldi, ia dibebaskan untuk bernyanyi sepuas hati di atas panggung selama Drum Festival belum dimulai. Namun ia harus menunggu beberapa jam lagi karena di atas panggung masih ada pementasan drama budaya batak.
Sambil berbincang dengan Tribun, tak jauh dari tempat Jan Pieter berdiri, Bupati Samosir, Mangindar Simbolon, sedang diwawancarai awak media.
“Who is that man?,” tanyanya. Ketika diberitahu bahwa dia adalah Bupati Samosir, Jan Pieter pun menyampaikan keinginannya untuk bertemu dan berbincang untuk tahu tentang perkembangan Samosir.
Ketika dipertemukan dengan dengan Bupati Samosir Mangindar Simbolon, ia tampak gugup. Ia memperkenalkan diri dan akhirnya berbincang beberapa saat dengan Mangindar.
“Kalau gitu kita marlae lah,” kata Mangindar sambil menepuk bahu Jan Pieter.
Ternyata selain pulang kampung dan ingin mengenal budaya batak lebih dekat, ia juga memiliki satu keinginan lain. Kedatangannya ke FDT 2013 ternyata juga untuk mencari pariban. Ia sangat ingin menikahi gadis batak seperti ibunya yang memiliki Boru Sagala.
“Saya cari pariban. Kalau tidak ketemu, gadis batak lain juga no problem. Saya mau gadis batak kayak ibu saya,” katanya tersenyum.
“I have come a long way from my home to see my real home here in Samosir. When i heard about Danau Toba Fest, i decided to come. Alone,” katanya kepada Tribun sambil tertawa. Ia mengaku agak kesulitan untuk mencapai jalan ke Danau Toba karena tak ingat lagi jalan yang harus dilalui. Untunglah ia masih mampu berbahasa Indonesia untuk menanyai jalan di terminal bis meskipun sedikit terbata-bata. Namun kalau Bahasa Batak ia memang benar-benar sudah lupa.
“Bahasa Batak saya lupa. Tapi saya suka nyanyi lagu Sing Sing So di California. Lalu lagu Situmorang. Sometimes lagu Lisoi Lisoi juga,” katanya sambil menyanyikan intro lagu Situmorang. Dia tahu lagu itu dari situs youtube.
Ia mengaku perkembangan di Danau Toba saat ini benar-benar berbeda ketika ditinggalkannya. Ia juga masih butuh belajar banyak tentang batak dan adat istiadat yang tidak pernah dipelajarinya selama di California. Beruntung, ketika ia tiba di Bukit Beta, salah satu lokasi acara Festival Danau Toba (FDT) 2013, ia bertemu dengan Sandra Niessen. Perempuan ini adalah seorang antropolog asal Belanda yang intens menulis tentang budaya batak khususnya kain Ulos. Dari Sandra ia diberikan sebuah buku dan video yang berisikan ragam adat dan istiadat Suku Batak.
“Well, actually i wanna buy them. But Sandra give them for free. Lucky me,” katanya kembali tertawa.
Namun ia sempat mengeluhkan perhelatan FDT 2013 yang katanya sering molor dari jadwal yang sudah ditentukan. Sebagai orang yang tidak memiliki banyak waktu untuk berlibur, katanya, harusnya pihak panitia bisa lebih profesional. Khususnya soal manajemen waktu.
“I’m so wasting time here,” keluhnya.
Mencoba menghibur dirinya, Tribun pun menantangnya untuk menyanyikan lagu “Situmorang” di atas panggung pementasan World Drum Festival di Bukit Beta. Ia langsung sumringah dan mengiyakan ajakan tersebut.
Ia pun akhirnya memberanikan diri meminta ijin dari Rizaldi Siagian, penanggungjawab acara seni budaya di FDT 2013. Oleh Rizaldi, ia dibebaskan untuk bernyanyi sepuas hati di atas panggung selama Drum Festival belum dimulai. Namun ia harus menunggu beberapa jam lagi karena di atas panggung masih ada pementasan drama budaya batak.
Sambil berbincang dengan Tribun, tak jauh dari tempat Jan Pieter berdiri, Bupati Samosir, Mangindar Simbolon, sedang diwawancarai awak media.
“Who is that man?,” tanyanya. Ketika diberitahu bahwa dia adalah Bupati Samosir, Jan Pieter pun menyampaikan keinginannya untuk bertemu dan berbincang untuk tahu tentang perkembangan Samosir.
Ketika dipertemukan dengan dengan Bupati Samosir Mangindar Simbolon, ia tampak gugup. Ia memperkenalkan diri dan akhirnya berbincang beberapa saat dengan Mangindar.
“Kalau gitu kita marlae lah,” kata Mangindar sambil menepuk bahu Jan Pieter.
Ternyata selain pulang kampung dan ingin mengenal budaya batak lebih dekat, ia juga memiliki satu keinginan lain. Kedatangannya ke FDT 2013 ternyata juga untuk mencari pariban. Ia sangat ingin menikahi gadis batak seperti ibunya yang memiliki Boru Sagala.
“Saya cari pariban. Kalau tidak ketemu, gadis batak lain juga no problem. Saya mau gadis batak kayak ibu saya,” katanya tersenyum.
Komentar
Posting Komentar